MUTIARA WEDA: Textual Zombie

2 days ago 4
ARTICLE AD BOX
Ucapan berbunga-bunga ini dilontarkan oleh orang-orang yang tidak bijak, wahai Pārtha (Arjuna), yang melekat pada huruf-huruf Veda dan berkata bahwa tidak ada kebenaran lain selain apa yang dikatakan oleh kitab-kitab itu.

KITA sering lupa bahwa ketajaman mata dan kelincahan lidah bukanlah ukuran sejati dari kebijaksanaan. Terlalu cepat kita menyebut orang lain tak layak, dungu, atau kurang berkompeten—seolah dunia hanya bergerak dalam irama yang kita pahami. Di sekeliling kita, banyak wajah yang tak seindah logika, tak secerdas retorika, dan tak segemilang data. Namun barangkali, mereka sedang berjalan perlahan di jalan sunyi yang tak kita kenali, menggenggam luka dan menenun makna dari diam dan keterlambatan. Apa gunanya merasa tinggi jika hati kita menyimpan bara penghakiman? Apa artinya merasa bijak jika kita mencemooh mereka yang masih belajar merangkak? Kita kerap lupa bahwa setiap jiwa dilatih oleh waktu dengan irama berbeda. Mungkin, yang kita anggap bodoh hari ini, adalah benih yang sedang mencari matahari.

Atau jangan-jangan, kita sendiri yang merasa paling tahu, paling cerdas, paling sah bicara tentang kebenaran justru tak lebih dari Textual Zombie: berjalan dengan dada penuh kutipan, tapi kosong dari pengalaman yang hidup. Kita mengutip kitab seperti mengangkat senjata, menyusun kata seperti vonis, menatap orang lain dari menara kebenaran yang kita bangun dari lembar-lembar buku. Kita pikir, pengetahuan telah menjadikan kita lebih manusiawi, padahal bisa jadi ia hanya menebalkan ego yang berbaju suci. Kita lupa bahwa memahami bukan hanya soal menghafal, tetapi menyerap; bukan hanya membaca, tetapi mengalami. Dan mungkin, di balik semua penghakiman yang kita lontarkan, kitalah yang sesungguhnya sedang berjalan tanpa jiwa digerakkan oleh teks, tapi terputus dari kasih.

Sloka Bhagavad Gītā 2.42, Krishna menyindir mereka yang terbuai oleh ‘puṣpitāṁ vācaṁ’ ucapan berbunga-bunga dari Veda, dari buku-buku para filsuf, para ahli yang hanya diulang oleh mereka yang avipaścitaḥ, belum memiliki kebijaksanaan sejati. Mereka ini adalah para pemuja teks, yang larut dalam keindahan kata-kata suci, kata berurai narasi langit, namun tak menyentuh makna terdalamnya. Mereka percaya bahwa kebenaran hanya ada dalam huruf-huruf kitab, teori, dan tidak mampu melihat bahwa kebenaran sering kali melampaui teks. Dalam bayang-bayang teori ini, muncul sosok textual zombie mereka yang berjalan dengan kepala penuh kutipan, tetapi hati yang kosong dari penghayatan. Mereka bicara tentang ideologi tanpa pernah diam mendengarkan kehadiran hakikinya, mereka hafal ayat tapi tak pernah menyelaminya. Sloka ini bukan hanya kritik terhadap penyalahgunaan kitab suci, buku filsafat, tetapi juga peringatan halus: bahwa pengetahuan tanpa kesadaran hanya akan menjadikan kita hidup seperti mayat berpakaian kata-kata bergerak, berbicara, namun mati di dalam.

Textual zombie tak hanya berkeliaran di ruang-ruang agama; mereka juga berseliweran di lorong-lorong akademik dan diskusi filsafat. Mereka yang rak bukunya penuh nama besar: Nietzsche, Foucault, Derrida, Deleuze. Mereka bicara tentang kesadaran, kebenaran, dan eksistensi, dengan kalimat yang rumit dan istilah yang berlapis. Namun saat menyentuh kehidupan nyata tentang mencintai, mendengarkan, atau menahan amarah mereka gamang, bahkan kering. Mereka pandai merumuskan paradoks, tapi tak mampu menertawakan diri sendiri. Mereka tahu bahwa makna itu cair, relativisme itu penting, dan struktur itu menindas tapi tetap memaksakan satu cara berpikir sebagai yang paling benar. Kutipan demi kutipan mereka tumpuk, tapi tak satupun menjelma menjadi laku. Maka mereka pun menjadi textual zombie: hidup dalam bayang-bayang pikiran orang lain, berjalan dengan kepala penuh nama, tapi jiwa yang tak pernah menyala. Mereka bukan tidak cerdas, justru sering sangat cerdas tapi kecerdasannya terperangkap dalam kerangkeng teks, tak pernah menyentuh tanah di mana hidup sejati berpijak.

Textual zombie adalah mereka yang menghidupi kutipan, tapi lupa cara hidup. Mereka bicara dengan bahasa para filsuf, namun lupa bahasa pelukan dan empati. Di kepalanya penuh teori, tapi di hatinya tak ada ruang untuk manusia lain. Mari berbenah bersama! 7
Read Entire Article